Posts

Showing posts from October, 2022

Jadi Dosen

Image
Sepengalaman saya, IPK dari ijazah terakhir itu gak terlalu ngaruh di dunia akademik. Itu hanya sebagai standar biar dapat panggilan wawancara kerja. Selanjutnya, kemampuan membentuk tim, mendapatkan dana penelitian/ studi lanjut, memimpin tim dalam melakukan penelitian, mengelola masalah dalam tim, dan menerbitkan artikel di jurnal bereputasi peer review (khususnya yang terindeks Scopus/ WoS) adalah indikator utama performa di akademia. Sayangnya, indikator-indikator performa itu seringnya gak diajarin di dunia perkuliahan. Mahasiswa yg niat mau lanjut kerja sbg dosen jd gak punya acuan untuk nyiapin apa biar bisa jadi dosen, yang beneraan dosen. Yang tahu track untuk jadi professor. Bukan sekedar ngajar lalu pulang, tanpa ada passion di dalamnya.  Beruntungnya, di sini ada matakuliah yang ngajarin cara dapat funding penelitian, cara nulis artikel di jurnal dg mendatangkan panelis yang juga jadi editor di jurnal-jurnal bereputasi, cara nulis CV yang bisa menarik perhatian para petingg

Doktor

Image
Doktor berasal dari akar kata yang sama dengan doktrin yang berarti mengajar (Shulman, 1986 dalam those who understand: knowledge growth teaching) Orang yang kuliah S3, terlepas mau masuk ke akademia atau tidak, maka setelah lulus seharusnya mengajar, menyebarkan ilmunya kembali. Nyebarkan ilmu kembali gak melulu harus di kelas. Menulis pun termasuk bagian penyebaran ilmu. Itu kenapa para doktor dituntut untuk terus menulis karya ilmiah, termasuk artikel jurnal. Menulis artikel jurnal bukan tentang punya sitasi tinggi, atau jadi modal biar dapat hibah dikti. Tembus scopus Q1/ Q2 bukan buat gaya gayaan untuk pamer ke rekan sejawatnya, tapi jurnal quartile tinggi itu UMUMNYA lebih sering diakses daripada jurnal rangking rendah, dan memang seharusnya orang yang dianggap sudah punya ilmu tinggi sudah seharusnya menyebarkan pemahamannya yang terus berkembang itu. Juga, seoraang doktor saat wafat maka gelar+ijazah+sitasi+hibah proyek tidak akan begitu (sama sekali) berguna, kecuali ilmu yang

Ngalah

Image
Semalam saya harusnya ada meeting sama Prof A sepulang kuliah malam. Saya jelaskan kondisi saya yang pulang perlu naik bus, dan nggak bisa pulang lebih dari jam 10 malam krn akan kehabisan bus. Lantas, Prof A inisiatif (tanpa saya minta) mengganti jadwal meeting jadi tadi pagi. Cerita yang mirip juga saya alami sama Prof B. Summer tahun depan Prof B sebenernya punya proyek penelitian di Lombok, dan saya diajak untuk ikut ke projek penelitian tersebut biar bisa ketemu keluarga. Beliau tahu orang tua saya sedang tidak bisa beraktivitas normal maka beliau ngajak saya biar bisa sekalian jenguk ortu. Ternyata lagi, beliau ngeganti lokasi penelitian ke Bandung. Salah satu alasannya biar deket kalau saya mau bolak-balik ketemu orang tua di Tangerang selama projek tersebut. Contoh lain di kelas Prof C. Ada salah satu mahasiswa dari fakultas kedokteran (enaknya kuliah di US, kita bisa ambil kelas walaupun di fakultas berbeda, bahkan di universitas berbeda) yang minta izin gak bisa hadir selama

Senengnya S3 Cuma Ada Dua

Image
"Senengnya kuliah S3 cuma ada 2: satu, saat pengumuman diterima beasiswa. dua, saat wisuda doktoral. Apapun diantara keduanya adalah akan bikin kita begadang terus" Satu tahun lalu saya baca kutipan di atas, tapi lupa entah dapat dari mana. Saya partly agree (condong ke setujunya). Contoh realnya, saat ini sebenarnya kampus lagi fall break. Kampus libur sesaat. Kampus sepi. Tapi, hari ini saya malah ada 3 rapat dg 3 tim berbeda, juga ada deadline dari 3 tugas yang berbeda. Lantas dimana break nya? 🙂 Buat saya S3 itu adalah marathon (di US, rata-rata mahasiswa S3 lulus adalah 4-5 tahun), bukan sprint, maka proses ini ya dibawa nyantai aja. Kalau capek ya istirahat bentar. Kalau bosen ya liburan sebentar. Saat udah fresh, lanjut nugas lagi. Yang penting mau terus belajar. Sekolah itu bukan tentang ijazah, so kalau pun udah lulus S3 ya tetep sering diskusi, ikut professional development, pelatihan, apply post doct, ikut camp kursus di luar expertise, dll. Kalau dibawa stress pr

Nyinyir & Resto

Image
 Semalem buka twitter dan IG rame postingan gini: "Heran banget sama mertua gue, tiap bulan di kirim uang sama suami 350rb. Tapi tiap kali kami datang, makanan yg disajikan yg begitu2 aja, nengoknya aja gak nafsu. Karna kami gak makan, akhirnya mertua bungkusin buat makan nanti dirumah, iya in aja dahhh. Tp jelas kami lebih memilih mampir makan di restolah". Terlepas dari postingan itu gimmick atau bukan, menurut saya, tempe goreng buatan ibu kandung& ibu mertua tetep lebih enak dari makanan di restoran mahal di belahan dunia manapun. Sekitar seminggu yg lalu, saya dapat pendanaan sekitar Rp40juta untuk menghadiri konferensi selama 5 malam di LA. Memang uang segitu gak begitu banyak untuk standar US. Tapi, dg uang segitu saya bisa makan di beberapa resto di LA.  Makanan di restoran-restoran tersebut jelas enak. Tapi, kalau boleh membandingkan misal dg sayur daun singkong dan ikan teri buatan ibu kandung& ibu mertua, saya masih lebih suka daun singkong dan ikan teri bu

Kabar

Image
Saya punya meeting mingguan sama Prof A. Rapat penelitian selama 1 jam, tapi seringnya hampir 30 menit pertama Prof A cuma nanya kabar ke semua tim penelitian (seluruh anggotanya adalah bimbingan Prof A). Nanya gimana adaptasi, udah punya selimut apa belum untuk persiapan musim dingin, sampai nanya kabar keluarga di negara masing-masing. Juga, sekitar 2 minggu yang lalu ketemu Prof B mau bimbingan book review. Pas saya baru masuk, beliau langsung nanya kabar saya dan istri. Padahal istri gak ikut. Hampir 20 menit pertama, beliau nanya kondisi saya dan sharing kehidupan di US. 40 menit setelahnya beliau baru bahas book review yang mau saya submit ke jurnal. Juga sekitar sebulan lalu, saya ke kantor Prof C. Ketemu sebentar sekitar 20 menit. Tapi, hampir 15 menit pertama, Prof C nanya kabar saya dan menawarkan beberapa bantuan kalau saya mengalami kesulitan dalam riset. Juga meeting-meeting sebelumnya, UMUMNYA para Prof ini gak langsung nanya, "mau ngapain?" atau "Laporanny