I Had A Pressure to be A Perfect! I (Don't) Wanna Be A Doctor, A Lawyer, or An Engineer
Semelam pas lagi kuliah matkul diversity, ada salah satu mahasiswa yang share pengalaman kalau doi diminta orang tuanya jadi dokter, insinsyur, atau pengacara. Tiga pekerjaan yang (dianggap) bergengsi oleh kebanyakan orang termasuk di Indonesia.
Doi ngerasa kalo jadi dokter, pengacara atau insinyur itu bukan passionnnya. Lantas doi cerita sambil nahan nangis. Sepertinya permintaan orang tuannya lebih seperti tekanan baginya untuk menjadi perfect dan punya pekerjaan prestisius.
Ini sepertinya juga suatu isu besar di Indonesia. Anak-anak diminta belajar keras. Harus pintar matematika. Di kelas, anak-anak dianggap pintar oleh teman-temannya jika dia pintar matematika. Anak yang pintar bermusik atau olahraga dilabeli "anak bodoh" oleh kebanyakan teman sekelasnya. Sayangnya, pelabelan ini diikuti oleh guru, juga oleh orang tua. Pintar adalah hak orang orang yg jago matematika dan science saja.
Di masyarakat, indikator kesuksesan adalah jika punya pekerjaan keren seperti dokter, insinyur ataupun pengacara. Kalau lagi di acara reuni, orang orang yg punya pekerjaan ini sering dikerumuni oleh teman seangkatannya. Mungkin, orang orang beranggapan bahwa keren nya bisa nular walaupun gak jadi dokter. minimal jadi temen dokter. Kalau pekerjaannya biasa biasa aja wah bisa gak dianggep di acara renuni (kecuali doi punya kecerdasan bersosialisasi yg tinggi).
Coba bayangkan jika orang tua Deddy Corbuzier maksa Deddy buat pinter matematika dan maksa berhenti main sulap. Deddy Corbuzier itu pernah 2 kali gak naik kelas. Juga, Prof Rhenald Kasali yang terkenal dg disrupsi nya dan guru besar ilmu manajemen di UI pernah gak naik kelas loh. Sbg orang tua, tentunya akan ada perasaan sedih ngeliat anaknya gak naik kelas, tapi mereka masih ngedukung anak anak mereka belajar apa yang mereka suka walau dianggap gagal oleh para guru.
Raditya Dika juga pernah bilang kalo doi dibebasin belajar apa aja yang doi suka. Coba bayangin kalo hobi nulisnya gak didukung orang tua lantas oorang tuanya selalu ngedaftarin Radit untuk ikut les matematika aja, tentunya blog yg jadi cikal bakal vlog dan video videonya gak akan muncul saat ini.
Saya sedang gak bilang kalau mau sukses itu harus gak naik kelas dulu. Ini beda kasus dan diskusinya lebih panjang. Perlu dukungan, privilege, dan motivasi yg lebih besar kalo sampe gagal naik kelas untuk bisa bangkit. Juga, saya gak bilang kalau belajar matematika itu tidak baik. Tentunya, matematika itu bagus banget. saya kuliah dari s1 sampe s3 di pendidikan matematika. tapi tolak ukur kecerdasaan seseorang itu bukan cuma matematika. Hargai setiap potensi anak itu sepertinya akan membuat anak itu lebih bahagia dan sang anak akan belajar bekerja jauh lebihh maksimal di bidang yg ia suka. Mengarahkan boleh saja menurut saja tapi tidak untuk memaksa.
Comments
Post a Comment